Sebenarnya cukup lama saya tergelitik dengan ide ini, apa benar dokter itu merupakan profesi yang mulia? Tentu hampir semua dokter akan menjawab iya. Tapi saya rasa cukup banyak orang yang tidak sependapat. Kasus malpraktek yang sering dibahas di media, biaya berobat yang mahal, dokter di daerah terpencil yang sering tidak berada di tempat padahal sudah digaji sangat besar dan saya rasa masih banyak contoh lain yang menggambarkan betapa mungkin profesi ini tidak semulia bayangan beberapa orang yang masih meyakininya.
Jujur, saya tidak dalam posisi bisa menentukan kemuliaan profesi ini. Saya hanya bisa memberikan sedikit opini, berdasar apa yang sudah saya lihat dan alami. Jadi kalau terasa sangat subyektif, pastinya, karena saya belum memiliki cukup keahlian (dan sumberdaya) untuk melihat dari berbagai sisi.
Mengenai malpraktek, jujur selama 3 tahun saya menjadi dokter dan 6 tahun menjalani pendidikan kedokteran,saya belum pernah melakukan, melihat maupun bersinggungan langsung dengan kasus malpraktek maupun pelakunya. Mungkin banyak yang tidak percaya tapi itulah yang sebenarnya. Pasien yang tidak puas, banyak. Hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan pasien, banyak. Tapi tidak ada satupun yang sesuai definisi malpraktek.
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Berdasarkan pengertian itu(yang saya ambil dari luar negeri, yang menurut pasien selalu lebih baik) bukanlah hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan lah yang bisa disebut malpraktek. Tapi sayangnya itulah yang dianggap masyarakat luas (dan pers) sebagai malpraktek. Padahal sebenarnya, kewajiban dokter lebih kepada memberikan pelayanan sesuai prosedur dan standar kompetensi, dan bukanlah memastikan kesembuhan ataupun harapan pasien terhadap hasil pengobatan
Ada kasus yang cukup lucu pada saat saya masih koas. Saat itu ada pasien dengan keluhan kulit yang melepuh setelah minum obat dari seorang dokter. Sempat saya dengar bisik-bisik seorang anggota keluarga yang berniat menuntut dokter tersebut. Sehari kemudian, ada seorang pasien baru dengan keluhan yang
sama,bibir dan wajahnya melepuh,setelah mengganti merk pasta giginya dari pasta gigi P ke C. Saat itu, tidak saya dengar niatan menuntut penjual pasta gigi maupun pabrik pasta gigi tersebut.
Saya tidak bilang tidak ada kasus malpraktek,mungkin ada cukup banyak,diluar pengetahuan saya,tapi tidak semua hal yang sesuai dengan harapan itu merupakan malpraktek. Kasus alergi obat sering dianggap sebagai hal yang luar biasa dan merupakan malpraktek kedokteran, yang sebenarnya sama mungkin terjadinya dengan kasus alergi udang ataupun makanan lainnya.
Biaya berobat ke dokter mahal. Ada yang bilang dokter adalah manusia-manusia angkuh, yang menulis resep dengan tulisan cakar ayam agar tak terbaca, dan menganggap dirinya sebagai dewa penyembuh yang merasa berhak menerima bayaran tinggi dari orang-orang menderita.
Saya pribadi,tidak menganggap diri sebagai dewa penyembuh. Bahkan, dengan setiap pasien, saya selalu berdoa agar pasien bisa sembuh persis sesuai teori yang sudah saya pelajari. Sayangnya tidak ada satupun kepastian. manusia bukanlah mesin yang bisa diganti suku cadangnya dan langsung kembali seperti baru. Kalaupun ada dokter yang menjanjikan kesembuhan, itupun mungkin hanya cara untuk memberikan sugesti pada pasiennya.
Mengenai bayaran tinggi, seringkali hanya sesuai fasilitas yang diberikan. Banyak pasien yang lebih memilih berobat di klinik yang berAC, lantainya mengkilap yang selalu dibersihkan cleaning service di setiap waktu,yang kursi antriannya empuk,menunggu antrian ruang tunggu yang nyaman dan dilengkapi tv kabel,
dibandingkan dengan berobat di puskesmas yang berlantai
kusam, kursi yang keras dan antrian yang panjang.
Klinik swasta yang nyaman,memang sudah seharusnya lebih mahal dibandingkan puskesmas yang dananya terbatas. Klinik swasta profit oriented, semua fasilitas tadi diambil dari biaya pengobatan pasien. Makan di restoran berAC pun lebih mahal daripada makan di warteg kan?
Apabila penyakit parah, menggunakan obat-obatan yang mahal atau bahkan perlu operasi, harus diakui biayanya tidak kecil. Tapi sayangnya, itu diluar kemampuan dokter,semua obat-batan mahal itu bukan dibuat oleh dokter, semua alat dan bahan operasi juga masih impor. Jadi menyalahkan dokter juga tidak menyelesaikan apapun.
Dokter hidup dari penderitaan orang lain. Jujur saya sedih mendengarnya. Setiap profesi hanya menjalankan perannya masing-masing. Dokter sering di kambing hitamkan saat ada orang sakit yang tidak mampu berobat, tapi bukan pedagang makanan yang disalahkan saat ada orang kelaparan. Padahal penyebabnya sama, sistem.
Pengobatan gratis tersedia di seluruh puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Tapi saat masyarakat mengeluhkan sulitnya birokrasi persyaratannya, kembali institusi kesehatan yang dikambing hitamkan. Padahal jika saya punya cukup uang, ingin rasanya semua pasien tidak mampu itu saya bayar dari kantong saya sendiri saja,dibandingkan saya harus menulis berbagai laporan dan persyaratan pencairan dana yang akhirnya sering hanya sebagian kecil yg disetujui untuk dicairkan, yang sama sekali tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk memenuhi persyaratannya.
Sering juga terdengar berita, tentang dokter yang ditempatkan di daerah terpencil yang mangkir dari tugas. Padahal gaji dan insentifnya sudah sangat besar.
Saya yakin pasti ada dokter yang mangkir dari tugas. Dokter juga manusia, dengan sifatnya masing-masing. Tapi saya sendiri juga bertugas di daerah terpencil. Saya akui, saya beberapa kali tidak berada di tempat, tanpa surat tugas. Sayangnya tidak ada pembedaan dokter di kota dan dokter di pedalaman. Untuk mengurus surat ijin praktek saja, kami tetap harus mengurus di ibukota kabupaten yang bisa 4-24 jam perjalanan dari tempat kami bertugas. Dan jalan yang harus kami tempuh juga bukan jalan mulus beraspal seperti di kota.
Jadi proses birokrasi saja bisa membuat kami tertahan di ibukota kabupaten berhari-hari.
Gaji dan insentif dokter di pedalaman besar. Mungkin iya,alhamdulillah pendapatan saya cukup disini. Tapi sayangnya tidak semua. Cukup banyak teman saya yang tinggal jauh di pedalaman,bergaji hanya 1,5 juta per bulan tanpa insentif, dimana harga sekali makan 20-50 ribu rupiah,transport ke kota minimal 100ribu rupiah sekali jalan dan bensin premium seharga 8-9ribu rupiah per liter. Apakah gaji segitu layak, anda yang memutuskan. Kenapa mereka mau, saya tidak tahu. Entah karena mereka memang tulus mengabdi atau mungkin tidak punya pilihan lain. Saya pribadi bertugas di daerah terpencil bukan karena tidak ada pilihan, saya sudah bekerja dengan gaji lebih besar di Surabaya sebelumnya, tapi atas permintaan orang tua yang ingin saya mengabdi di desa kelahirannya, bisa dibilang terpaksa lah saya bertugas disini.
Tapi lepas apapun alasan saya bekerja disini, disinilah saya merasakan kemuliaan profesi ini. Disini saya merasa bosan,jauh dari hiburan, jauh dari segala kemudahan yang saya dapat di kota,untuk mendapatkan gaji yang lebih kecil dari yang bisa saya dapatkan di kota. Tapi disini pula mata saya terbuka. Disini saya bisa didatangi pasien yang menempuh perjalanan berjam-jam di laut berombak tinggi, yang seluruh uangnya sudah habis untuk transport,sehingga seringkali untuk meminta biaya periksa 5 ribu rupiah pun saya tak tega, tapi begitu menghargai apapun usaha saya, seperti apapun hasilnya. Klise memang, dokter hanya berusaha tetapi Tuhan yang menentukan, tapi memang seperti itulah adanya.
Disini pula saya bertemu sejawat-sejawat yang begitu berdedikasi. Yang tetap melayani sepenuh hati pasiennya meskipun gaji yang janjinya dirapel akhirnya tidak dibayar. Yang bersedia menempuh perjalanan melewati sungai yang penuh buaya dan hutan berlumpur untuk merawat pasien yang tidak mau(atau tidak mampu) dibawa di puskesmas,hanya untuk dibayar dengan ucapan terima kasih.
Saya sendiri,belum mampu untuk seperti itu. Mungkin saya materialistis, atau mungkin juga hanya idealis. Saya merasa tidak seharusnya saya menggratiskan pasien tidak mampu, hanya karena mereka kesulitan mengurus birokrasi pengobatan gratis buat warga miskin. Menurut saya sistem yang sudah mulai berjalan harusnya didukung dan diperbaiki, bukannya karena jeleknya birokrasi akhirnya tidak dijalankan.
Lepas dari itu semua,masalah mulia atau tidak, kembali kepada pribadi masing-masing. Saya hanya berharap, tulisan ini bisa sedikit memberi pandangan dari sisi yang berbeda. Pandangan dari sisi orang yang menjalani sebagai pilihan hidupnya, bukan dari pihak yang hanya melihat hal ini dari apa yang terlihat di permukaan. Dokter bukanlah malaikat yang tidak bisa berbuat salah, apalagi dewa penyembuh yang memenuhi semua harapan pasien dan keluarganya. Tapi dokter juga bukan pribadi tidak kompeten yang banyak berbuat salah apalagi setan yang mengharapkan keburukan pada pasiennya. Dokter hanyalah manusia biasa, yang meskipun selalu berusaha berbuat yang terbaik untuk pasiennya, tetapi tetap saja tempatnya salah dan lupa. Tempatkanlah profesi sesuai perannya, mulia atau tidak kembali kepada pribadinya masing-masing. Pengharapan yang berlebihan ataupun asumsi awal yang sudah negatif, sering menjadi sumber konflik antara dokter dan pasien, yang semestinya mungkin tidak perlu terjadi.
Pikasa Retsyah Dipayana
Link : http://kesehatan.kompasian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar